Kontroversi Jeroan Sapi: Dari Pelarangan hingga Jadi Primadona
shutterstock
Babat, Usus, Paru, dan Limpa mungkin sudah tidak asing kamu dengar dalam sajian soto ataupun sop. Bagian-bagian dari tubuh sapi tersebut kerap kali disebut dengan Jeroan. Panganan dari dalam tubuh sapi tersebut menjadi primadona di Indonesia karena dapat dijadikan sebagai bahan-bahan untuk membuat makanan khas Indonesia.
Makanan yang menjadikan jeroan sebagai bahan utamanya seperti gulai, soto betawi, tongseng, dan beberapa sajian berkuah santan lainnya. "Lain ladang, lain tanaman" mungkin frasa yang tepat untuk menggambarkan status jeroan di negeri lain. Lantas, apa yang membedakan pandangan orang Indonesia dan Negara lain soal jeroan? Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, bagi kamu yang belum memiliki Qraved App, segeralah download aplikasinya untuk mendapatkan info menarik lainnya seputar kuliner.
Kisah Sang Jeroan
Photo Source: www.villemagne.net
Peminat jeroan di Indonesia memang sangat tinggi, namun berbeda di negeri lain. Sejarawan kuliner Prancis, Madeleine Ferrières dalam bukunya yang berjudul Histoire des peurs alimentaires du Moyen Âge à l’aube du XXe siècle (Sejarah Makanan Berbahaya pada Masa Abad Pertengahan hingga Paruh Abad 20), mengkategorikan jeroan sebagai bagian dari makanan yang tidak lazim dikonsumsi oleh manusia.
Kembali ke awal abad 20, masyarakat Indonesia sangat gemar memakan panganan dari kuah kaldu yang bernama soto. Catatan tertua tentang soto ditulis C.L. Van der Burg pada 1904.
Sejarah makanan.com melansir bahwa dalam bukunya Voeding in Nederlandsch-Indie, dokter ahli nutrisi asal Belanda itu menulis pada masa itu orang pribumi sering membuat sejenis kaldu bernama soto. Makanan ini berasal dari babatan sapi terbaik yang direndam di dalam air. Babatan sapi tersebut dianggap sebagai makanan jorok bagi orang Belanda.
Soto diperkirakan muncul pertama kali di Semarang. Orang-orang peranakan Tionghoa mempopulerkannya sejak abad 19. Aji "Chen" Bromokusumo dalam bukunya "Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara" mengurai soto berasal dari kata cao (rumput), shao (memasak) dan du (jeroan sapi atau babat).
Photo Source: www.bukuresep.net
Menurut lansiran beritagar.id, memang tak ada bukti sejarah penggunaan jeroan sapi sebagai bahan utama soto. Namun, melihat kebiasaan orang Guangzhao yang banyak bermigrasi ke Hindia Belanda pada abad 19, bisa ditebak kenapa mereka menggunakan babat sebagai bahan masakan.
Orang Eropa, salah satunya Belanda sangat ketat menerapkan higienitas makanan, dan cara penyajian soto dengan jeroan dinilai tak sehat. Maka itu dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1849 no. 52 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan 18 pasal aturan dan kebijakan terkait pemotongan sapi dan kerbau. Salah satunya pasal 9 tentang regulasi larangan penjualan daging yang ditutupi gemuk atau lemak. Bagi tukang jagal dan pedagang yang melanggar aturan itu, maka pemerintah akan menjatuhkan sanksi bagi mereka.
The New Age of Jeroan
Photo Source: lifestyle.okezone.com
Saat ini, panganan jeroan telah menjamur bahkan menjadi santapan primadona bagi masyarakat Indonesia. Selain dalam bentuk soto, kini jeroan juga hadir dalam bentuk sate yang dihiasi dengan kuning telur sebagai elemen tambahannya.
Bahkan, terdengar kabar yang sangat santer bahwa Soto dengan sajian jeroan di dalamnya sudah naik kelas ke dunia gastronomi internasional. Tak dapat dipungkiri, dunia kuliner Indonesia melahirkan banyak sekali variasi bahan dan rasa, yang membuatnya kaya akan rasa sehingga patut diacungkan jempol di ranah kuliner mancanegara.
This feature is only available in Qraved AppsPlease download Qraved apps to participate in the contest and win the grand prize. Find out for more information in Qraved appsDownload or Open App dismiss